Sepertinya jadi semacam keasikan tersendiri ya bagi setiap blogger atau penulis bebas untuk membicarakan masalah pencoblosan tanggal 9 Juli kemarin. Antusiasme dari masyarakat lebih terasa besar jika aku bandingkan dengan pencoblosan sebelum-sebelumnya. Aku sempat twit mengenai hal tersebut dengan bunyi semacam ini "Antusiasme akan PEMILU tahun 2014 ini terasa lebih tinggi karena ada harapan yang lebih bagi perubahaan Indonesia yang signifikan...", namun twit itu tidak berhenti di tiga titik tersebut. Aku melanjutkan "... dari capres Jokowi." Sebenarnya twit aslinya tertulis sedikit lebih casual dari itu. Agak sedikit malas untuk meng-copas. Ya, aku berani bilang dan sedikit bangga bahwa pasangan capres-cawapres yang aku coblos hari Rabu kemarin adalah pasangan Jokowi-JK. Alasan pasti ada. Meski tidak banyak. Salah satu alasan utama selain karena Jokowi berhasil membangun imaj yang rendah hati, lebih merakyat dan murah senyum (menandakan mudah didekati dan tidak emosional), adalah karena dalam visi misi pasangan ini mereka menekankan pada persoalan industri ekonomi kreatif. Aku senang sekali ketika pasangan favoritku turut mendukung dan ingin memfokuskan pemerintah pada industri tersebut karena Indonesia terlalu banyak pelaku kreatif yang bisa mengembangkan dan membangun Indonesia. 

Indonesia sangat kuat di industri kreatifnya. Kita mau menjadi seperti Korea Selatan. Atau mungkin seperti Italia. Sadar bagaimana merk-merk Italia banyak mendunia dan bahkan parahnya ketika kita mendengar nama produk berbau Italia sering kali kita merasa produk tersebut terkenal atau setidaknya keren (?). Sama halnya dengan Korea Selatan yang belakangan ini berfokus diri pada industri musik dan video sehingga bisa mendunia seperti sekarang. 

Begitulah yang aku lihat dari pasangan Jokowi-JK. Aku menunggu kebijakan dan tindakan mereka di pemerintah baru kelak terhadap industri ekonomi kreatif. Perubahan yang membawa ikut serta kalangan masyarakat kreatif lah yang kemungkinan besar menumbuhkan kepercayaan tersendiri di hati dan pikiran masyarakat sebagian besar bahwa Indonesia akan tumbuh berbeda di bawah pimpinan pasangan populer tersebut. 

Hmm, sebenarnya tiga paragraf di atas aku ingin jadikan intermezo singkat, eh malah kalah sama inti pembicaraan, mungkin. Ada satu hal yang cukup menggelitik pikiranku mengenai pelaksanaan pemilu di Indonesia sampai terakhir kemarin ini. Masalahnya sangat menyangkut fisik. 

Sempat mendengar berita masalah rusaknya ratusan ribu surat suara beberapa hari sebelum hari-H pencoblosan. Sering kali melihat liputan di TV mengenai persiapan logistik di beberapa lokasi di daerah. Surat suara di mana-mana dan kotak-kotak besi bertumpuk-tumpuk. Aku nggak tahu apa ini cuma pikiranku saja atau cara semacam itu sangat manual dan fisik? Tidak banyak yang bisa aku utarakan mengenai masalah itu karena aku sendiri belum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelebihan dari surat suara fisik berbahan kertas dan kotak penyimpan surat suara berbahan besi tersebut. Tapi, kalau aku ditanya mengenai masalah keefisiensian cara seperti itu, aku akan jawab "tidak". 

Kita sudah memiliki teknologi yang cukup canggih. Kenapa tidak memanfaatkan sidik jari sebagai tanda identitas unik per individu dan akses online? Toh KTP sekarang berjudul electronic-KTP atau e-KTP. Dibuatnya pun dengan mendaftarkan sidik jari setiap calon pemiliknya di setiap kantor kecamatan, aku masih ingat. Kalau ragu masalah keamanan cyber, aku yakin Indonesia memiliki tenaga ahli di bidang IT dan sistem informasi yang bisa membantu kemungkinan terjadinya kecurangan sistem komputerisasi. Selain itu Indonesia bisa bekerjasama dengan universitas-universitas dan institusi sejajarnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknologi berguna semacam itu. Pergunakan lah itu. Irit kertas (terutama kertas dari surat suara yang rusak) dan irit biaya produksi kotak-kotak besi. 

Yang terlebih penting adalah, produk-produk fisik semacam surat suara kertas dan kotak besi lebih rentan untuk menjadi rusak di perjalanan mereka ke pusat penghitungan surat suara.