Awal. Ide untuk menulis blog baru selalu muncul ketika perasaan dan pikiran sudah mulai bingung "enaknya ngapain, ya?", tapi kali ini ada pengecualian. Ide muncul karena "I'm desperate for work!". Iya. Aku sedang resah mencari kerjaan. Lucu, kerjaan pasti selalu ada. Hanya saja kerjaan yang dibayar tinggi itu yang agak sulit dicari. Ya sudah lah. Walaupun nasi belum menjadi bubur, kenapa nggak menulis blog sembari menunggu hasil-hasil dari lamaran dan wawancara kemarin-kemarin. Berdoa saja semoga rezeki selalu ada dan lancar. Amin. 

Postingan pertama langsung ya dieksekusi dengan curhatan singkat tapi dalam. Di paragraf pertama pula. Sekali lagi, ya sudah lah. Di postingan pertama ini aku ingin sedikit bercerita mengenai apa yang sedang hangat dalam pikiranku akhir-akhir ini. Masalah pemilu tanggal 9 Juli nanti? Ah sudah terlalu banyak rekan pemberita dan penulis lepas yang kuyakin berkoar-koar masalah itu. Aku ingin coba bercerita mengenai keadaan di Yogya, kota yang sudah cukup lama aku tempati bersama keluarga. Topik renyah tentang Yogya saat ini itu masalah pembangunan kota. 

Uttara. Hmm, kalau kamu sering lewat jakal (Jalan Kaliurang) selatan ringroad dan cukup perhatian pada sisi barat jalan, ada satu plot area kecil yang dulu adalah sebuah rumah cukup tua yang sekarang sudah dibangun kantor marketing di mana orang-orang yang tertarik untuk berinvestasi di bidang properti terutama apartemen bisa ngobrol-ngobrol. Nama calon apartemennya Uttara. Salah satu temanku sempat cerita masalah demonstrasi kepada pembisnis apartemen itu. Inti masalah dari para pendemo adalah IMB yang belum legal dan AMDAL. Aku harus setuju dengan para pendemo karena aku sendiri cukup "mengikuti" proses transformasi dari rumah tua menjadi kantor marketing itu, secara rumahku tidak jauh dari situ. Pada dasarnya yang dibangun adalah area permukaan tanpa mengubah sistem gorong-gorong yang pada awalnya gorong-gorong atau parit yang bersifat rumah tangga. Aku yakin limbah dari satu gedung apartemen akan jauh berbeda dengan satu rumah kecil tidak bertingkat. 

Postingan pertama ini bukan mau membahas masalah pembangunan apartemen tersebut. Tadi hanya sedikit contoh yang paling dekat secara geografis dari di mana aku tinggal. Jamur-jamur gedung perhotelan dan pusat perbelanjaan sedang tumbuh subur di atas tanah kota yang unik ini. Aku dan banyak orang ingat bagaimana Yogya sekitar 10-20 tahun lalu. Kabut pagi masih bisa didapatkan di daerah tidak jauh dari pusat kota, jika aku mengingat memori ke belakang. Jalanan jauh dari macet, tidak seperti sekarang. Suhu cenderung lebih sejuk. Bahkan aku sering kali jalan kaki dari daerah barat belakang Malioboro (Jalan Tentara Pelajar) sampai Jalan Taman Siswa karena suasananya yang tidak begitu sesak kendaraan. Saat itu kursus bahasa Inggrisku dijadwalkan di malam hari jadi memang terasa lebih nyaman dibandingkan siang hari untuk berjalan kaki pulang ke rumah. 

Tidak ada salahnya memang bagi sebuah kota untuk tumbuh dan berkembang. Sayangnya, pertumbuhan kota Yogya saat ini cukup memberikan dampak negatif bagi keadaan kotanya sendiri. Pendatang dengan kendaraan roda empatnya semakin tertarik memenuhi jalanan Yogya seiring dengan pertumbuhan fasilitas dan akomodasi yang meningkat. Aku hanya berharap Yogya tidak meninggalkan kekhasannya yang cenderung kaya-dan-kental-tradisi-Jawa. Dengan begitu, jika aku ingin berbelanja di pusat perbelanjaan yang megah, aku bisa ke Jakarta. Lalu jika aku ingin merasa nyaman dan damai menikmati suasana yang tenang, aku harus kembali ke Yogya. Entah lah, apa bisa Yogya mempertahankan prestasi tradisionalnya...