2020 Semerbak Pilu

Tiba-tiba aku kali ini menulis dari Taipei, Taiwan. Iya, pulai kecil sebelah timur Tiongkok yang sedikit diasingkan dari pengakuan dunia sebagai sebuah negara demokrasi. Sudah satu tahun lebih sejak tiba di sini. Sebenarnya hari ini tetiba rindu dengan keasikanku sejak belasan tahun lalu di saat sedang bosan di kamar, yaitu menulis blog. 

Tahun ini cukup penuh pilu terutama sejak tinggal di pulau ini. Serangan virus dari awal tahun membawa dampak ke diri pribadi. Beberapa pekerjaan sampingan bubar jalan sejak semester lalu. Ketika berencana mudik di liburan musim panas, pandemi menghalanginya. Taiwan sendiri cukup aman dari virus ini. Hanya dua bulan di awal saja sempat ada pengetatan dari pemerintahnya sehingga beberapa aktivitas harus dijalankan dari rumah atau kosan. Kuliah diubah menjadi bersistem daring. Namun, aku sempat dapat kesempatan mengajar bahasa Indonesia tanpa sistem daring. Alasannya sederhana; sulit mengajar bahasa asing secara daring bagi pelajar yang baru pertama kali mengenal bahasanya. 

Saat ini, walau sedang jalani liburan musim panas, aku sangat disibukkan dengan penelitian dengan profesorku. Cukup padat setiap hari dan malamnya. Waktu untuk menikmati liburan disempatkan sesekali setiap minggunya. Tapi, aku tidak ngeluh karena dengan begini aku bisa ada kegiatan walau tidak bisa mudik tahun ini.

Aku ingin coba mulai aktif menulis lagi di sini dan di blog berbahasa inggris yang lain. Aku pikir aku harus kasih tantangan ke diri sendiri dengan menulis satu tulisan tiap dua hari sekali. Tapi sepertinya aku akan lebih aktif di blog berbahasa inggrisnya karena sekalian mengasah terus kemampuan menulisku dalam bahasa asing. 

Ke depannya, aku ingin menulis tentang apa saja yang aku alami selama tinggal di Taiwan. Semoga bisa atur waktu, deh! 

Jari Bertinta Ungu

Sepertinya jadi semacam keasikan tersendiri ya bagi setiap blogger atau penulis bebas untuk membicarakan masalah pencoblosan tanggal 9 Juli kemarin. Antusiasme dari masyarakat lebih terasa besar jika aku bandingkan dengan pencoblosan sebelum-sebelumnya. Aku sempat twit mengenai hal tersebut dengan bunyi semacam ini "Antusiasme akan PEMILU tahun 2014 ini terasa lebih tinggi karena ada harapan yang lebih bagi perubahaan Indonesia yang signifikan...", namun twit itu tidak berhenti di tiga titik tersebut. Aku melanjutkan "... dari capres Jokowi." Sebenarnya twit aslinya tertulis sedikit lebih casual dari itu. Agak sedikit malas untuk meng-copas. Ya, aku berani bilang dan sedikit bangga bahwa pasangan capres-cawapres yang aku coblos hari Rabu kemarin adalah pasangan Jokowi-JK. Alasan pasti ada. Meski tidak banyak. Salah satu alasan utama selain karena Jokowi berhasil membangun imaj yang rendah hati, lebih merakyat dan murah senyum (menandakan mudah didekati dan tidak emosional), adalah karena dalam visi misi pasangan ini mereka menekankan pada persoalan industri ekonomi kreatif. Aku senang sekali ketika pasangan favoritku turut mendukung dan ingin memfokuskan pemerintah pada industri tersebut karena Indonesia terlalu banyak pelaku kreatif yang bisa mengembangkan dan membangun Indonesia. 

Indonesia sangat kuat di industri kreatifnya. Kita mau menjadi seperti Korea Selatan. Atau mungkin seperti Italia. Sadar bagaimana merk-merk Italia banyak mendunia dan bahkan parahnya ketika kita mendengar nama produk berbau Italia sering kali kita merasa produk tersebut terkenal atau setidaknya keren (?). Sama halnya dengan Korea Selatan yang belakangan ini berfokus diri pada industri musik dan video sehingga bisa mendunia seperti sekarang. 

Begitulah yang aku lihat dari pasangan Jokowi-JK. Aku menunggu kebijakan dan tindakan mereka di pemerintah baru kelak terhadap industri ekonomi kreatif. Perubahan yang membawa ikut serta kalangan masyarakat kreatif lah yang kemungkinan besar menumbuhkan kepercayaan tersendiri di hati dan pikiran masyarakat sebagian besar bahwa Indonesia akan tumbuh berbeda di bawah pimpinan pasangan populer tersebut. 

Hmm, sebenarnya tiga paragraf di atas aku ingin jadikan intermezo singkat, eh malah kalah sama inti pembicaraan, mungkin. Ada satu hal yang cukup menggelitik pikiranku mengenai pelaksanaan pemilu di Indonesia sampai terakhir kemarin ini. Masalahnya sangat menyangkut fisik. 

Sempat mendengar berita masalah rusaknya ratusan ribu surat suara beberapa hari sebelum hari-H pencoblosan. Sering kali melihat liputan di TV mengenai persiapan logistik di beberapa lokasi di daerah. Surat suara di mana-mana dan kotak-kotak besi bertumpuk-tumpuk. Aku nggak tahu apa ini cuma pikiranku saja atau cara semacam itu sangat manual dan fisik? Tidak banyak yang bisa aku utarakan mengenai masalah itu karena aku sendiri belum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelebihan dari surat suara fisik berbahan kertas dan kotak penyimpan surat suara berbahan besi tersebut. Tapi, kalau aku ditanya mengenai masalah keefisiensian cara seperti itu, aku akan jawab "tidak". 

Kita sudah memiliki teknologi yang cukup canggih. Kenapa tidak memanfaatkan sidik jari sebagai tanda identitas unik per individu dan akses online? Toh KTP sekarang berjudul electronic-KTP atau e-KTP. Dibuatnya pun dengan mendaftarkan sidik jari setiap calon pemiliknya di setiap kantor kecamatan, aku masih ingat. Kalau ragu masalah keamanan cyber, aku yakin Indonesia memiliki tenaga ahli di bidang IT dan sistem informasi yang bisa membantu kemungkinan terjadinya kecurangan sistem komputerisasi. Selain itu Indonesia bisa bekerjasama dengan universitas-universitas dan institusi sejajarnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknologi berguna semacam itu. Pergunakan lah itu. Irit kertas (terutama kertas dari surat suara yang rusak) dan irit biaya produksi kotak-kotak besi. 

Yang terlebih penting adalah, produk-produk fisik semacam surat suara kertas dan kotak besi lebih rentan untuk menjadi rusak di perjalanan mereka ke pusat penghitungan surat suara. 

Donor Darah Saat Puasa

Sudah dua malam ini bolos tarawih. Alasannya klasik; ada urusan lain. Salah pastinya pakai alasan kayak gitu. Tapi memang kebetulan kemarin ada jadwal ke satu tempat printing dan kalau harus nunggu besok paginya nanti hal-hal lain ikut terundur. Itu alasan kemarin malam. Kalau alasan malam ini kenapa nggak tarawih sih... moodnya ga pas. Hahaha. Dosa dah. Tapi emang hari ini moodnya emang cukup diuji. Alhamdulillah-nya emosinya bisa dijaga karena ingat sedang berpuasa. Sayang kan kalau sudah niat puasa tapi nggak sah hanya gara-gara hal sepele? 

Bicarain soal puasa. Ramadhan tahun ini cukup menarik untukku. Jalan dua tahun belakangan ini aku aktif mendonor darah. Selama menjadi pendonor yang aktif baru satu kali melewati bulan Ramadhan, yaitu tahun lalu. Jadi ini Ramadhan kedua. Menariknya, jadwal donor darahku tepat di bulan Ramadhan. Bagi kamu yang belum tahu, pendonor darah aktif hanya boleh mendonor setiap 75 hari sekali atau 2,5 bulan sekali. Kalau kamu tertarik untuk jadi pendonor aktif tapi malas menghitung jumlah hari sejak donor terakhir, aku saranin daftar di PMI kota. Nanti pasti dikirim sms kalau sudah boleh mendonor lagi. 

Nah, Ramadhan ini aku kena jadwal untuk donor darah, karena terakhir donor pertengahan April kemarin. Sempat ragu awalnya apa donor darah membatalkan puasa? Ternyata dalam hukum Islam tidak ada larangan bagi orang yang berpuasa untuk mendonorkan darahnya. Dengan catatan tubuh dalam keadaan fit atau tidak menimbulkan efek samping setelah donor. Toh sebelum donor dilakukan selalu ada pengecekan medis untuh tahu apa calon pendonor bisa mendonor. 

Kebetulan hari Minggu besok tanggal 6 Juli ada acara donor darah. Menurut info dari PMI acaranya diadain sama SCTV. Hobiku setiap donor darah adalah mencari tempat-tempat yang beda dan unik jadi donor darahnya selalu mempunyai memori. Misal nih, aku pernah donor darah di kebun binatang (Gembira Loka), pernah di perpus, pernah di fakultas, dll. Seru aja sih menurutku, jadi nggak menjadi rutinitas yang membosankan juga. 

Nah kali ini aku rencana mau ikut acara dondar SCTV itu. Uniknya lagi, dondarnya diadakan pada malam hari. Alasannya mungkin karena bulan puasa jadi tidak mengganggu jalannya puasa. Aku sih cukup semangat untuk Minggu besok ini. Moga-moga ga pas sakit atau lemas. Lumayan buat pengalaman baru lagi jadi setiap donor selalu ada cerita pernah di sini di situ. Hehe.

Well postingan kali ini kayaknya fokus ke donor darah malah. Haha. Niatnya sih nggak. Ya namanya juga menulis; suka mengalir sendiri kadang. Baiklah sahur tinggal beberapa jam lagi. Mesti tidur sekarang. 

Khotbah Pra-Tarawih

Malam ini tarawih kedua di bulan Ramadhan tahun ini. Berarti ya hari ini tadi perdana puasa. Kebetulan aku bukan seorang Muhammadiyah. Kalau iya, malam ini sudah tarawih ketiga. Postingan kedua ini aku ingin coba bercerita singkat saja tentang khotbah malam yang biasanya diberikan tepat sebelum shalat tarawih dilaksanakan. 

Ya bagi yang memiliki kepercayaan selain Islam dan bagi muslim(ah) tapi tidak pernah tarawih di masjid, aku ingin share sedikit bahwa khotbah pra-tarawih cukup berpotensi membuat ngantuk jikalau disampaikan terlalu lama. Pemicu awal rasa kantuk sebenarnya adalah kalap makan ketika buka puasa... huhu. Untungnya masjid di mana aku biasa mengikuti tarawih (Masjid Pogung Raya atau biasa disingkat MPR) sering kali menghadirkan penceramah yang tidak lama berkhotbahnya. Eits, tapi ada satu hal lagi. Kalaupun khotbah tarawihnya ga lama, bisa juga aku jadi sibuk nguap-nguap sendiri. Tebak coba kenapa bisa begitu? Jawabannya, biasanya esensi khotbahnya cukup membosankan dan cara penyampaiannya kurang membangkitkan semangat calon penyalat tarawih (orang yang melakukan shalat!) untuk mencermati khotbahnya. 

Kemarin malam aku tidak sibuk nguap-nguap selama khotbah disampaikan. Malah aku pingin khotbahnya dilama-lamain. Sayangnya nggak bisa. LOL. Pengkhotbah malam itu pintar sekali "bermain" dengan "penonton". Nggak sedikit dari kami malam itu tertawa walau tidak sampai terpingkal-pingkal. Well nggak lucu dong kalau di ruang ibadah tertawanya sama seperti tertawa di hadapan komikan stand-up. Hehe. Malam kemarin itu topik yang dibawakan dalam khotbah sangat masa kini. Dengan kata lain bahasannya memiliki relasi yang kuat lah dengan kenyataan dalam hidup. Yang menjadi hal paling menarik malam itu adalah penyampaian materi khotbah dilakukan dengan sentuhan lelucon, tapi esensinya tetap serius dan berbasis referensi kuat. Salah satu contoh yang aku ingat yaitu "Penduduk daerah Sleman memiliki life span mencapai 78 tahun bagi pria dan 79 tahun bagi wanita. Jadi ibu-ibu sekalian, siap-siap ditinggal bapaknya setahun ya...". Kami pun sedikit tergelikan walaupun agak miris juga membayangkan sesepuh-sesepuh yang kebetulan hadir pada malam itu. Masih ada beberapa sentilan lelucon lain tapi aku agak lupa. Pesan yang ingin disampaikan sebenarnya serius tapi karena disampaikan dengan pintar melalui sentilan-sentilan lelucon seperti contoh tadi, jadinya lebih mudah menyerap di ingatan tanpa menghilangkan pentingnya isi pesan.

Sayangnya malam ini tidak sama dengan malam kemarin. Kembali ke laptop... eh salah, maksudku kembali ke khotbah yang standar penyampaiannya. Tidak ada sentilan lelucon yang mendukung lenyapnya rasa kantukku malam ini. Untungnya aku berhasil sampai akhir witir dan pulang ke rumah. Tapi... hmm... khotbah tadi ngebicarain apa sih? Lupa... 

Ya sudah lah~ Mari tidur saja dan bersiap untuk bangun sahur besok. 
Selamat berpuasa dan menyambut bulan Ramadhan. Semoga Ramadhan kali ini lebih membawa berkah daripada sebelum-sebelumnya. Amin.

Yogya Bukan Jakarta

Awal. Ide untuk menulis blog baru selalu muncul ketika perasaan dan pikiran sudah mulai bingung "enaknya ngapain, ya?", tapi kali ini ada pengecualian. Ide muncul karena "I'm desperate for work!". Iya. Aku sedang resah mencari kerjaan. Lucu, kerjaan pasti selalu ada. Hanya saja kerjaan yang dibayar tinggi itu yang agak sulit dicari. Ya sudah lah. Walaupun nasi belum menjadi bubur, kenapa nggak menulis blog sembari menunggu hasil-hasil dari lamaran dan wawancara kemarin-kemarin. Berdoa saja semoga rezeki selalu ada dan lancar. Amin. 

Postingan pertama langsung ya dieksekusi dengan curhatan singkat tapi dalam. Di paragraf pertama pula. Sekali lagi, ya sudah lah. Di postingan pertama ini aku ingin sedikit bercerita mengenai apa yang sedang hangat dalam pikiranku akhir-akhir ini. Masalah pemilu tanggal 9 Juli nanti? Ah sudah terlalu banyak rekan pemberita dan penulis lepas yang kuyakin berkoar-koar masalah itu. Aku ingin coba bercerita mengenai keadaan di Yogya, kota yang sudah cukup lama aku tempati bersama keluarga. Topik renyah tentang Yogya saat ini itu masalah pembangunan kota. 

Uttara. Hmm, kalau kamu sering lewat jakal (Jalan Kaliurang) selatan ringroad dan cukup perhatian pada sisi barat jalan, ada satu plot area kecil yang dulu adalah sebuah rumah cukup tua yang sekarang sudah dibangun kantor marketing di mana orang-orang yang tertarik untuk berinvestasi di bidang properti terutama apartemen bisa ngobrol-ngobrol. Nama calon apartemennya Uttara. Salah satu temanku sempat cerita masalah demonstrasi kepada pembisnis apartemen itu. Inti masalah dari para pendemo adalah IMB yang belum legal dan AMDAL. Aku harus setuju dengan para pendemo karena aku sendiri cukup "mengikuti" proses transformasi dari rumah tua menjadi kantor marketing itu, secara rumahku tidak jauh dari situ. Pada dasarnya yang dibangun adalah area permukaan tanpa mengubah sistem gorong-gorong yang pada awalnya gorong-gorong atau parit yang bersifat rumah tangga. Aku yakin limbah dari satu gedung apartemen akan jauh berbeda dengan satu rumah kecil tidak bertingkat. 

Postingan pertama ini bukan mau membahas masalah pembangunan apartemen tersebut. Tadi hanya sedikit contoh yang paling dekat secara geografis dari di mana aku tinggal. Jamur-jamur gedung perhotelan dan pusat perbelanjaan sedang tumbuh subur di atas tanah kota yang unik ini. Aku dan banyak orang ingat bagaimana Yogya sekitar 10-20 tahun lalu. Kabut pagi masih bisa didapatkan di daerah tidak jauh dari pusat kota, jika aku mengingat memori ke belakang. Jalanan jauh dari macet, tidak seperti sekarang. Suhu cenderung lebih sejuk. Bahkan aku sering kali jalan kaki dari daerah barat belakang Malioboro (Jalan Tentara Pelajar) sampai Jalan Taman Siswa karena suasananya yang tidak begitu sesak kendaraan. Saat itu kursus bahasa Inggrisku dijadwalkan di malam hari jadi memang terasa lebih nyaman dibandingkan siang hari untuk berjalan kaki pulang ke rumah. 

Tidak ada salahnya memang bagi sebuah kota untuk tumbuh dan berkembang. Sayangnya, pertumbuhan kota Yogya saat ini cukup memberikan dampak negatif bagi keadaan kotanya sendiri. Pendatang dengan kendaraan roda empatnya semakin tertarik memenuhi jalanan Yogya seiring dengan pertumbuhan fasilitas dan akomodasi yang meningkat. Aku hanya berharap Yogya tidak meninggalkan kekhasannya yang cenderung kaya-dan-kental-tradisi-Jawa. Dengan begitu, jika aku ingin berbelanja di pusat perbelanjaan yang megah, aku bisa ke Jakarta. Lalu jika aku ingin merasa nyaman dan damai menikmati suasana yang tenang, aku harus kembali ke Yogya. Entah lah, apa bisa Yogya mempertahankan prestasi tradisionalnya...